Rumat Adat Karo

Rumah Adat Karo

  Suku Karo merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Beberapa peninggalan suku Karo sejak berabad-abad yang lalu, masih bisa ditemukan di daerah Taneh Karo, yaitu berupa rumah-rumah adat tradisional suku Karo.
  Rumah adat suku Karo, sebagai Gerga adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh makna. Rumah adat Karo yang paling populer adalah rumah adat Si Waluh Jabu.
Sebenarnya Rumah Adat Karo, terdapat beberapa jenis, yaitu:
  • Gerga, adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh makna.
  • Belang Ayo, memiliki bentuk yang mirip dengan Gerga, sehingga kadang Belang Ayo dianggap sama dengan Gerga.
  • Si Waluh Jabu, artinya "delapan rumah" atau makna sebenarnya berarti "delapan keluarga" dalam satu kekerabatan. Rumah adat Si Waluh Jabu adalah nama lain dari Gerga atau Belang Ayo. Rumah adat Si Waluh Jabu ini yang paling banyak masih bisa ditemui di beberapa wilayah adat Taneh Karo.
  • Sepulu Jabu, artinya dalam satu rumah terdiri dari 10 keluarga dalam satu kekerabatan. Berukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu.
  • Sepulu Dua Jabu, di dalamnya terdapat 12 keluarga dalam satu kekerabatan. Tidak memiliki kamar seperti Rumah Adat Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.
  • Sepulu Enem Jabu, mungkin merupakan Rumah Adat tertinggi di Indonesia. Di huni oleh 16 keluarga dalam satu kekerabatan. Karena Sepuluenem Jabu ini adalah Rumah Adat Karo yang terbesar, kemungkinan Sepuluenem Jabu ini bisa saja merupakan suatu Istana Kerajaan orang Karo yang dihuni oleh para keluarga Kerajaan di masa lalu.
  • Si Enem Jabu, rumah adat yang berukuran lebih kecil dari si Waluh Jabu, dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan.
  • Si Empat Jabu, rumah adat yang berukuran paling kecil, dan dihuni oleh 4 keluarga dalam satu kekerabatan.
  • Jambur, adalah suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan berbentuk rumah adat Karo dengan atap ijuk, merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat (adat perkawinan, adat dukacita) dan kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan untuk tempat anak muda tidur. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung mereka. Para pemuda tidak pantas tidur bersama orangtuanya dalam satu kelambu yang disekat-sekat dan sempit. Oleh karena itu para pemuda tidur di Jambur. Selain itu Jambur juga menjadi sarana bagi pemuda desa lain menginap jika kemalaman dalam perjalanan, atau pemuda yang datang bertandang untuk melihat pujaan hatinya yang disebut naki-naki.
  • Griten (Geriten), bangunan adat tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, berdiri di atas tiang penyangga bangunan.
  • Sapo Page, artinya lumbung padi. Bentuk seperti rumah adat. Berada di halaman depan rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang. Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas berfungsi untuk menyimpan padi.
  • Lesung, juga digunakan sebagai lumbung padi. 
  • Keben, digunakan untuk penyimpanan beras, merupakan bagian penting dari budaya Karo, karena beras merupakan tingkat status yang menunjukkan kekayaan seseorang. Rumah adat karo, seperti juga rumah adat Toba, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Pakpak, tidak memiliki kamar-kamar. Rata-rata rumah adat dari klan Batak ini, dapur tempat memasak berada di tengah rumah. Semua rumah-rumah adat ini adalah rumah panggung dengan falsafah masing-masing pula.
   Rumah adat Karo yang berada di daerah pegunungan dengan udara yang dingin, dapur di tengah rumah memiliki fungsi dan makna tersendiri. Selain menerangi bagian rumah, juga memberikan kehangatan bagi seluruh keluarga.
   Rumah Adat Si Waluh Jabu paling mudah ditemui, karena peninggalannya masih bisa ditemui tersebar di beberapa wilayah tanah adat Karo, sedangkan Rumah Adat Sepulu Jabu dan Sepulu Dua Jabu, sudah sangat susah ditemui.
   Rumah adat Sepulu Dua Jabu, tidak memiliki kamar, tapi ada aturan agar tiap-tiap keluarga menjaga sopan santun dan adat istiadat yang kuat. Rumah Adat Karo, seluruhnya berbentuk panggung, dibangun dengan tonggak penyangga bangunan. Atap rumah agak lancip dan dipenuhi ukiran. Semua ukiran memiliki makna sendiri-sendiri. Besar bangunan sekitar dua kali lapangan volley. Atap dilapisi daun ijuk, yang pada beberapa bangunan yang tua sudah ditumbuhi lumut hijau. Bubungan atap yang menghadap ke Barat bterdapat tanduk kerbau jantan yang menjulang dengan gagah (merupakan ciri khas bangsa tua budaya Dong Son). Sedangkan bubungan atap yang menghadap ke Timur terdapat tanduk kerbau betina. Satu mitos orang Karo mengatakan bahwa kedua tanduk itu merupakan tanda penolak bala, yang menyerang dari Timur dan Barat.

   Di dalam ruangan rumah adat, tidak ada lampu yang menerangi, terkesan gelap dan angker. Beberapa tiang penyangga ruangan berukuran besar berada di dalam ruangan.
   Di dalam ruangan di sebelah kiri dan kanan, terdapat 5 hingga 8 ruangan yang merupakan rumah-rumah tempat tinggal setiap keluarga (KK). Jadi, di dalam ruangan rumah adat terdapat beberapa rumah lagi (hal ini menunjukkan bahwa suatu rumah adat merupakan wadah bagi beberapa keluarga yang tinggal dalam satu rumah, lebih tepat merupakan suatu kampung kecil dalam satu bangunan rumah adat). Masing-masing rumah yang berada di dalam rumah adat memiliki ukuran luas sekitar 6 m. Menurut cerita, dulunya dalam suatu rumah adat terdapat 8 hingga 16 keluarga dalam satu rumah adat.
   Para (tungku memasak), berada di antara 2 rumah berbentuk petak. Di atas para, terdapat tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas tempat semacam plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak. Dalam satu rumah adat hanya ada 5 para.
   Dinding rumah terdapat ukiran 5 warna, dengan motif saling kait, yang masing-masing warna pastilah memiliki makna sendiri, yang sayangnya tidak diketahui secara pasti tentang makna tersebut. Menurut penuturan warga Karo, hanya tinggal para orang tua lanjut usia saja yang paham mengenai makna 5 warna tersebut.
   Menurut seorang warga Karo, bahwa 5 warna ukiran tersebut melambangkan keakraban dan kekerabatan antara 5 marga besar dalam suku Batak Karo, yang saling bersaudara, yaitu:
  • warna Merah adalah simbol marga Ginting
  • warna Hitam, milik marga Sembiring
  • warna Putih, milik marga Siangin-Angin (Peranginangin)
  • warna Biru, milik marga Tarigan
  • warna Kuning Keemasan, milik marga Karo-Karo.
  Konsep rumah adat Karo ini oleh para arsitek di masa awal pembangunan rumah adat ini sangat lengkap, sampai memikirkan kekuatan bangunan, sehingga apabila terjadi gempa rumah adat akan tetap berdiri kokoh. Palas (antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk, yang berfungsi meredam getaran akibat gempa, rumah akan mengikuti arah getaran gempa.
   Di masa lalu, dalam membangun rumah adat harus dilakukan dengan ritual panjang. Kayu bahan bangunan dipilih seizin sang dukun. Mereka memilih kayu dari hutan, memotong-motong dan dibawa ke hadapan sang dukun. Oleh sang dukun, kayu-kayu tersebut didoakan, dimimpikan, untuk kemudian dipilih kayu mana yang boleh digunakan. Pemilihan kayu harus tepat, karena apabila salah memilih kayu, maka diyakini akan membawa bencana.
Jenis kayu yang boleh dipakai untuk membangun, hanya boleh dari 3 jenis saja, yaitu:
  • kayu Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidak mendapat sakit.
  • kayu Ambartuah, dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup.
  • kayu Sibernaik, dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki. Di dalam rumah adat, terdapat banyak aturan dan pantangan adat yang harus dipatuhi oleh setiap keluarga yang tinggal di dalam rumah adat. Bicara tidak boleh sembarangan, tidak boleh duduk di tengah ruangan, tidak boleh duduk di tungku, karena tungku adalah tempat untuk memasak dan lain-lain.
   Masing-masing keluarga dalam rumah adat menjaga keluarga masing-masing, tidak saling mengganggu. Seperti memasak, melakukan sesatu, bahkan melintasi sudut-sudut milik keluarga lainnya. Terlebih laki-laki, jika mereka melintasi kawasan keluarga lainnya, pandangannya harus tetap terjaga memandang ke depan. Mata tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan, apalagi sampai menoleh ke sekat-sekat wilayah keluarga lain. Dia hanya boleh melihat ke wilayah dimana dia tinggal.
   Tutur kata, cara berbicara harus tetap terjaga. Terlebih malam hari, karena jangan sampai mengganggu privacy tetangga. Hampir semua aturan tinggal di rumah adat Karo tidak tertulis, namun ditaati, sebagai sebuah aturan adat istiadat yang harus dijunjung tinggi.
   Semisal, jika anak kandung kita meninggal dunia, kita masih boleh tinggal di rumah adat. Tapi bila istri kita meninggal dunia, kita harus pindah tidur ke Jambur, karena seorang duda tidak boleh tinggal di dalam rumah adat.
   Jika isteri kita meninggal dunia dan kita wajib tidur di Jambur, maka ada kata-kata ”suin anak kalake mate asang anakta” yang berarti "lebih sakit kematian anak orang lain dari pada kematian anak kandung sendiri".
Jika kematian anak kandung, kita masih boleh tinggal di dalam rumah adat. Tapi jika isteri kita (anak orang lain) yang meninggal dunia, maka kita harus keluar dari rumah adat dan bergabung dengan pemuda di jambur. Seluruh aturan harus dipatuhi, untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

  Beberapa rumah adat ternyata sudah sangat tua sekali. Memiliki kesan mistis tapi memiliki daya tarik yang khas bagi setiap orang yang melihatnya.
Previous
Next Post »